Pertama kali dikemukakan oleh Ibn. Fadhilah mengenai Martabat tujuh, dia adalah seorang sufi dari India. Ajaran ini dipengaruhi oleh Ibn ‘Arabi yang diadopsi oleh para sufi di tanah Jawa. Salah satunya adalah Raden Ngabehi Ranggawarsito. Menurut ajaran Martabat Tujuh, Tuhan menampakkan Diri dalam tujuh tingkatan atau Martabat :

1. MARTABAT AHADIYAT
2. MARTABAT WAHDAT
3. MARTABAT WAHIDIYAT
4. ALAM ARWAH
5. ALAM MISAL
6. ALAM AJSAM
7. ALAM INSAN KAMIL


1. Martabat Ahadiyat
Ini adalah Martabat Tertinggi Ketuhanan. Tuhan digambarkan sebagai Dzat yang tidak bisa disebut dengan apa pun. Inilah Tuhan Sejati bagi manusia, tidak pandang bangsa dan agama. Dalam Islam sering disebut dengan keadaan Kunhi Dzat atau Dzat semata. Para sufi Jawa yang banyak dipengaruh oleh filsafat Hindu menyebutkan dengan istilah Aku. Pada keadaan ini, tidak ada sesuatu selain Dzat Tuhan. Kosong hampa. Sunyi-senyap. Tidak ada sifat, nama, atau perbuatan. Maka Ibn ‘Arabi pernah melontarkan gagasan kesatuan semua agama. Hal ini bisa diterima jika dipandang dalam keadaan ini, yakni keadaan Aku semata.


2. Martabat Wahdat
Dalam Martabat Ahadiyat, Tuhan adalah Dzat Suci yang berdiri sendiri. Tak ada yang lain selain Diri-Nya. Dia rindu untuk dikenal, namun siapa yang akan mengenal-Nya karena tidak ada yang lain selain Diri-Nya. Tuhan berkehendak menciptakan makhluk agar Diri-Nya dikenal oleh makhluk tersebut. Inilah proses awal penciptaan. Tuhan hendak menciptakan makhluk. Untuk menciptakan sesuatu pastilah menggunakan bahan. Bahan tersebut diambil dari-Nya sendiri. Logis, karena tidak ada bahan lain selain Diri-Nya. Tidak tersisa ruang sedikit pun untuk selain Diri-Nya,maka otamatis Tuhan mengambil bahan dari Diri-Nya sendiri. Sebenarnya pencipaan ini lebih bersifat maknawi, Dia tidak pernah membuat sesuatu yang baru, namun hanya menampakkan Diri dengan penampakan lain atau tajalli.Tuhan menurunkan kualitas Diri-Nya, dari Dzat Mutlak yang teramat Suci menjadi dua sebagaimana dibayangkan akal. Tidak seperti itu sama sekali. Penurunan ini hanya sekedar ungkapan yang bermakna simbolis. Sama halnya dengan air laut yang menampakan diri dengan penampakan lain berupa gelombang.Sebenarnya tidak ada bedanya antara air laut dan gelombang, keduannya adalah satu juga.

Inilah martabat Tuhan yang kedua yakni Martabat Wahdat. Dia sudah melakukan proses pencipaan pertama. Ciptaan pertama-Nya ini berupa Nur Muhammad atau Cahaya Muhammad. Ranggawarsita menyebutnya sebagai Syajaratul Yakin atau Pohon Keyakinan. Ibnu ‘Arabi menjabarkannya sebagai Asyajaratul Kaun atau Pohon Kejadian. Cahaya ini memiliki nama agar mudah dikenali. Orang-orang Islam menyebut-Nya dengan sebutan Allah. Di berfirman : “Allah adalah Cahaya bagi langit dan bumi.” Nur Muhammad bukan Tuhan tapi juga bukan makhluk. Ia ada di tengah-tengah antara keduannya. Namun dalam Martabat Wahidiyat ini, Nur MUhammad lebih bersifat ketuhanan. Allah yang di sembah orang-orang hakikatnya adalah Tuhan yang sudah menurunkan Diri, bukan Tuhan Sejati. Tuhan Sejati itu adalah Dzat Mutlak atau Aku.


3. Martabat Wahidiyat
Penampakan atau tajalli Tuhan berikut ini adalah Martabat Wahidiyat. Pada martabat ini, Nur Muhammad yang bernama Allah dan bersifat ketuhanan menurunkan Diri menjadi Nur Muhammad yang bersifat kemakhlukan. Maka cahaya ini tidak lagi sebagai Tuhan, namun sebagai makhluk yang masih berupa satukesatuan cahaya. Disinilah terjadi proses pencitaan sebagaimana digambarkan oleh Ibn ‘Arabi dalam pohon kejadian yang tidak pernah putus mengalir. Benih tersebut berasal dari Cahaya Satu, dan Cahaya yang satu tersebut berasal dari Dzat-Nya.

Jadi, jelaslah, benih-benih kejadian berasal dari Cahaya Tuhan. Setiap penciptaan berasal dari-Nya. Setiap gerakan, tindakan, perkataan, pemikiran, angan-angan, semuannya bermula dari benih tersebut. Tidak ada satu gerakan pun dari makhluk yang lepas dari benih tersebut, sehigga Ranggawarsita menganggap semua makhluk sebagai anak-anak Tuhan karena berasal dari benih-Nya.

Dalam martabat ini pula Tuhan melahirkan Kehendak-Nya. Kehendak atau Iradat tersebut Dia salurkan dalam setiap benih kejadian. Tumbuhlah benih tersebut menjadi akar yang menjalar ke bawah. Akar atau Kehendak Tuhan inilah yang menjadi pondasi setiap ciptaan, maka segala sesuatu memiliki akar kejadian yakni berada di bawah kendari Tuhan dan terjadi atas kehendak-Nya.

Kehendak Tuhan merupakan ketetapan yang pasti atau takdir. Tuhan menyimpan taikdir tersebut di suatu tempat yang tersembunyi hingga tak satu pun yang mengetahuinya, kecuali orang-orang tertentu yang Dia beri kekuasaan untuk mengetahuinnya. Tuhan pun berfirman: ” Sesungguhnya Allah memiliki takdir (ketetapan) terhada segala sesuatu.” Dengan takdir inilah benih tersebut tumbuh keatas menjadi batang. Batang tersebut mampu tumbuh keatas karena memiliki kemampuan atau kudrat yang berasal dari Kudrat-Nya. Semakin tinggi batang itu naik hingga bercabang menjadi dua. Inilah sifat makhluk sejati, yakni bercabang menjadi dua yang saling berpasangan. Tuhan membuat keadaan makhluk menjadi berpasangan sebagai tanda kekuasaan dan kebesaran-Nya. Dia memerintahkan agar manusia mengenal dua sifat yang saling berlawanan ini, “Dan Aku menciptakan laki-laki dan perempuan agar mereka saling mengenal satu sama lain.” Ini menjadi petunjuk bagi manusia untuk tidak dalam penampakan kemakhlukan yang memiliki dua pasangan. Manusia yang masih mengagungkan salah satu sifat pasangan dan mengesampingkan sifat lainnya akan tersesat. Padahal dua-duanya berasal dari-Nya. Inilah martabat yang bersifat kemakhlukan namun masih menjadi satu dan belum terpisah-pisahkan. Semua kejadian makhluk masih berbentuk konsep yang tersimpan rapi dan terjadi di sisi-Nya.


4. Alam Arwah
Konsep atau skenario Tuhan tidak akan berwujud nyata jika tidak dimasukkan kedalam suatu wadah. Proses penampakan atau tajalli Tuhan berikutnya adalah menciptakan wahana bagi kehendak-kehendak-Nya tersebut. Dalam martabat ini, Tuhan menciptakan makhluk yang sangat halus yakni ruh. Ruh adalah sarana sebagai sumber kehidupan. Ruh itu berasal dari Diri Tuhan. Mula-mula, Ruh tersebut masih satu dan akhirnya terbagi-bagi menjadi banyak sekali. Bagian-bagian ruh tersebut siap untuk mengisi tiap-tiap bentuk yang akan diciptakan-Nya kemudian.


5. Alam Misal

Keberadaan ruh sebagai sarana sumber kehidupan tidak akan berguna jika tidak ada suatu yang dia masuki. Tuhan menciptakan beberapa bentuk ciptaan melalui proses penurunan Diri. Dia mengambil Nur Muhammad sebagai bahan-Nya. Maka inilah makhluk sejati, bukan Tuhan, karena berasal dari Nur Muhammad yang bersifat kemakhlukan dan tidak berasal langsung dari Dzat Tuhan. Ciptaan dalam Alam Misal ini berupa makhluk-makhluk halus atau gaib namun nyata bentuknya seperti malaikat, jin, setan, jiwa, iblis, surga, neraka, dan sebagainya. Ruh-ruh datang dan memasuki setiap bentuk gaib tersebut hingga hiduplah mereka.


6. Alam Ajsam
Bentuk-bentuk gaib pada Alam Misal di atas masih di rasa kurang sempurna. Maka Tuhan menurunkan Diri dalam penampakan terluar berupa benda-benda jasmani. Maka terlihatlah beragam materi dengan segala pernak-pernik didalamnya. Ini adalah hijap atau diding penghalang yang paling besar untuk melihat Tuhan karena dalam setiap materi tersebut dibungkus dengan syahwat. Kebanyakan manusia akan tertipu dan sulit untuk kembali ke asal-usul dirinya apabila terlena oleh penampakan fisik ini.


7. Alam Insan Kamil
Pada akhirnya, Tuhan menurunkan Diri menjadi manusia sempurna sebagai gambaran Diri-Nya yang sempurna. Melalui manusia sempurna inilah Dia menikmati hasil ciptaan-Nya. Maka manusia dibekali akal dan hati sebagai sarana kehadiran Tuhan. Kelebihan utama manusia dibanding dengan makhluk lainnya adalah kemampuan untuk menampung kehadiran Tuhan hingga menjadi wakil (khalifah) bagi-Nya. Melalui manusia sempurna inilah harapan-Nya untuk mengenal dan dikenal akan terlaksana.

AKAL MANUSIA ADALAH SINGGASANA KEMAKMURAN-NYA, HATI MANUSIA ADALAH SINGGASANA KEMULIAAN-NYA DAN KEMALUAN MANUSIA ADALAH SINGGASANA KESUCIAN-NYA.

Ketiga bagian tubuh manusia ini menjadi sarana vital kehidupan, sebagai tempat hadir Tuhan untuk menikmati keelokan hasil karya-Nya.


Wallahu A`alam