Adapun rukun Sembahyang itu ada 13 perkara :
  1. Niat
  2. Berdiri betul
  3. Takbiratul Ihram
  4. Fatihah
  5. Rukuk
  6. I’tidal
  7. Sujud
  8. Duduk Antara Dua Sujud
  9. Duduk Tahiyat
  10. Tahiyat Akhir
  11. Salawat
  12. Salam
  13. Tertib
Tumaninah artinya menetapkan suatu rukun pindah ke rukun yang lainnya. Inilah Tumaninah namanya. Menghilangkan gerak dan diam rukun, baru pindah ke rukun yang lainnya, karena apabila gerak rukun umpamanya tidak sempat hilang sudah pindah kepada I’tidal, maka tiadalah sah sembahyangnya karena tumakninahnya tidak ada gerak.

Rukun itu tercampur kepada yang lainnya, inilah syari’at namanya. Maka dari itu kalau kita merasa belum bisa belajar sembahyang, belajarlah terlebih dahulu, sebelum kita mengerjakan sembahyang atau sambil mengerja sambil belajar, karena tiap-tiap rukun sembahyang itu ada mempunyai syarat-syarat yang tertentu.

Inilah yang menjadikan kita diwajibkan belajar, sesuai dengan hadis Nabi yang berbunyi “UT LUBUL’ILMI PARI DATUN ‘ALA KULLI MUSLIMIN NAWA MUSLIMAT” artinya Menuntut ilmu itu wajib atas kita laki-laki dan perempuan. Maka oleh sebab itu kalau kita yang ingin bersembahyang belajarlah terlebih dahulu, kalau ingin selamat di dalam Kubur atau di waktu panas pada hari Mahsyar, karena di dalam sembahyang itu cukup lengkap buat menjawab pertanyaan Munkar dan Nakir, meluaskan Titiyan Siratul Mustakim, buat payung di waktu panas Padang Mahsyar. Karena sembahyang itu cukup lengkap tersedia apa saja, akan tetapi sembahyangnya orang belajar atau berIlmu. Kalau sembahyang orang yang tiada belajar atau tiada berilmu, pasti tiada dapat lindungan seperti uraian yang tersebut di atas.

Maka dari itu, sesudah lengkap kita ketahui apa apa yang diwajibkan oleh Syara’ yakni Syari’at, kemudian kita tambah pula dengan Ilmu bathin yakni Hakikat, supaya segala amalan sembahyang kita itu lepas dari syirik, ujub, ria, takbur dan sebagainya.

Yang menghilangkan pahala sembahyang, apabila Ilmu Fiqih sudah sungguh-sungguh dipelajari dan Ilmu Tasawuf sudah juga dipelajari, baru itu amalan yang Tahkik yang disyari’atkan oleh Nabi kita Muhammad SAW supaya jangat sampai sembahyang itu sembahyang tiruan saja, tiada ada ilmunya.

Adapun rukun sembahyang itu terbagi 3 (tiga) bagian :
  1. Rukun Qolbi
  2. Rukun Qauli
  3. Rukun Pi’li
  1. Rukun Qolbi itu masuk 2 (dua) rukun yaitu : Niat dan Tertib, tempatnya di hati, tiada boleh dibaca atau dituturkan dengan hati, hanya ingat, atas Ma’rifat saja, takluknya kepada Sifat Ilmu (pengetahuan).
  2. Rukun Qouli itu masuknya 5 (lima) rukun yaitu : Takbiratul ihram, Fatihah, Tahiyat, Salawat, Salam Pertama. Adapun rukun Qouli ini wajib dibaca dengan mulut, tiada boleh diingat dengan hati, membacanya sekira-kira telinga kita sendiri yang mendengarnya, takluknya kepada sifat Sama’ atau pendengaran.
  3. Rukun Fi’li masuknya 6 (enam) rukun yaitu : kelakuan sembahyang : Berdiri Betul, Rukuk, I’tidal, Sujud, Duduk Di antara Dua Sujud, Duduk Tahiyat Akhir, maka yang 6 (enam) ini ialah kelakuan sembahyang, takluknya kepada sifat Bashar (penglihatan). Maka Rukun Fi’li ini ialah kelakuan sembahyang atau kelakuan Allah atas jasad yang terbit dari pada setetes air mani. Diciptakan Allah menjadi tubuh/jasad, itulah hurufnya nasar Nabi Allah Adam yang 4 (empat) yakni Air, Tanah, Api dan Angin, menjadi tubuh hurufnya kepada kita, dan inasar Muhammad itu 4 (empat) pula pada kita yaitu :
    • Perasa
    • Pendengar
    • Penglihat
    • Pencium
maka menjadi Roh kepada kita itulah asal dari pada inasar Muhammad. Maka Muhammad inilah yang disuruh menyembah Allah, karena sesudah inasar Adam menjadi tubuh dan inasar Muhammad menjadi Roh kita, maka sempurnalah kejadian kita, akan tetapi masih belum bisa bergerak apa-apa, Firman Allah Ta’ala : “LAA TATAH RAKA ZURRATAN ILLA BIIZRILLAH” artinya Tidak bergerak Ya Muhammad di dalam alam ini sesuatu apa yang kecil kalau tiada izinKu (RahasiaKu).

Maka Rahasia itu “Nur”. Adapun jalan hakikat yang mengata Allahu Akbar di waktu kita sembahyang itu ialah Rahasia Allah kepada kita. Begini jalan Ma’rifat kita kepada Allah atau kepada Zattullahi Ta’ala yang berpedoman kepada hukum Syara’ yakni Syari’at yang dibawa oleh Nabi kita Muhammad SAW.




Beberapa Dalil Mengenai Hukum Meninggalkan Sholat Wajib

فَخَلَفَ مِن بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُواْ ٱلصَّلَـوٰةَ وَٱتَّبَعُواْ ٱلشَّهَوَٰتِ فَسَوْفَ يَلْقُونَ غَيّاً
إِلاَّ مَن تَابَ وَءَامَنَ وَعَمِلَ صَـٰلِحاً فَأُوْلَـٰئِكَ يَدْخُلُونَ ٱلْجَنَّةَ وَلاَ يُظْلَمُونَ شَيْئاً

"Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan, kecuali orang yang bertaubat, beriman dan beramal saleh, maka mereka itu akan masuk syurga dan tidak dianiaya (dirugikan) sedikitpun”  (QS. Maryam : 59-60)

Maka datanglah sesudah mereka pengganti yang jelek yang menyia-nyiakan salat dengan cara meninggalkannya seperti orang-orang Yahudi dan Nasrani dan memperturutkan hawa nafsunya, gemar melakukan perbuatan-perbuatan maksiat, maka mereka kelak akan menemui kesesatan (ghayya adalah nama sebuah lembah di neraka Jahanam), mereka akan dijerumuskan ke dalamnya.

Kecuali terhadap orang yang bertobat, beriman dan beramal saleh, mereka itu akan masuk surga dan mereka tidak dianiaya, dan tidak dirugikan sedikit pun dari pahala mereka.

Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhuma mengatakan bahwa ‘ghoyya’ dalam ayat tersebut adalah sungai di Jahannam yang makanannya sangat menjijikkan, yang tempatnya sangat dalam. (Ash Sholah, hal. 31)

Dalam ayat ini, Allah menjadikan tempat ini –yaitu sungai di Jahannam- sebagai tempat bagi orang yang menyiakan shalat dan mengikuti syahwat (hawa nafsu). Seandainya orang yang meninggalkan shalat adalah orang yang hanya bermaksiat biasa, tentu dia akan berada di neraka paling atas, sebagaimana tempat orang muslim yang berdosa. Tempat ini (ghoyya) yang merupakan bagian neraka paling bawah, bukanlah tempat orang muslim, namun tempat orang-orang kafir.

Pada ayat selanjutnya juga, Allah telah mengatakan,

إِلاَّ مَن تَابَ وَءَامَنَ وَعَمِلَ صَـٰلِحاً
”kecuali orang yang bertaubat, beriman dan beramal saleh”. 
Maka seandainya orang yang menyiakan shalat adalah mu’min, tentu dia tidak dimintai taubat untuk beriman.


فَإِن تَابُواْ وَأَقَامُواْ ٱلصَّلَوٰةَ وَءٰاتَوُاْ ٱلزَّكَوٰةَ فَإِخْوَانُكُمْ فِي ٱلدِّينِ وَنُفَصِّلُ ٱلأَْيَـٰتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ
“Jika mereka bertaubat, mendirikan sholat dan menunaikan zakat, maka (mereka itu) adalah saudara-saudaramu seagama. Dan Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi kaum yang mengetahui.” 
(QS. At Taubah: 11)

Dalam ayat ini, Allah Ta’ala mengaitkan persaudaraan seiman dengan mengerjakan shalat. Berarti jika shalat tidak dikerjakan, bukanlah saudara seiman. Konsekuensinya orang yang meninggalkan shalat bukanlah mukmin karena orang mukmin itu bersaudara.

Pembicaraan Orang yang Meninggalkan Shalat dalam Hadits


Terdapat beberapa hadits yang membicarakan masalah ini.

Dari Jabir bin ‘Abdillah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكُ الصَّلاَةِ
“(Pembatas) antara seorang muslim dan kesyirikan serta kekafiran adalah meninggalkan shalat.” (HR. Muslim no. 257).

Dari Tsauban radhiyallahu ‘anhu -bekas budak Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam-, beliau mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

بَيْنَ العَبْدِ وَبَيْنَ الكُفْرِ وَالإِيْمَانِ الصَّلَاةُ فَإِذَا تَرَكَهَا فَقَدْ أَشْرَكَ
“Pemisah antara seorang hamba dengan kekufuran dan keimanan adalah shalat. Apabila dia meninggalkannya, maka dia melakukan kesyirikan.” (HR. Ath Thobariy dengan sanad shohih. Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini shohih. Lihat Shohih At Targib wa At Tarhib no. 566).

Diriwayatkan dari Mu’adz bin Jabal, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

رَأْسُ الأَمْرِ الإِسْلاَمُ وَعَمُودُهُ الصَّلاَةُ
”Inti (pokok) segala perkara adalah Islam dan tiangnya (penopangnya) adalah shalat.” 
(HR. Tirmidzi no. 2825). 

Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan At Tirmidzi). Dalam hadits ini, dikatakan bahwa shalat dalam agama Islam ini adalah seperti penopang (tiang) yang menegakkan kemah. Kemah tersebut bisa roboh (ambruk) dengan patahnya tiangnya. Begitu juga dengan Islam, bisa ambruk dengan hilangnya shalat.

Para Sahabat Berijma’ (Bersepakat), Meninggalkan Shalat adalah Kafir

Umar r.a. mengatakan,

لاَ إِسْلاَمَ لِمَنْ تَرَكَ الصَّلاَةَ
”Tidaklah disebut muslim bagi orang yang meninggalkan shalat.”

Dari jalan yang lain, Umar r.a. berkata,

ولاَحَظَّ فِي الاِسْلاَمِ لِمَنْ تَرَكَ الصَّلاَةَ
“Tidak ada bagian dalam Islam bagi orang yang meninggalkan shalat.” 
(Dikeluarkan oleh Malik. Begitu juga diriwayatkan oleh Sa’ad di Ath Thobaqot, Ibnu Abi Syaibah dalam Al Iman. Diriwayatkan pula oleh Ad Daruquthniy dalam sunannya, juga Ibnu ’Asakir. Hadits ini shohih, sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Al Albani dalam Irwa’ul Gholil no. 209). Saat Umar r.a. mengatakan perkataan di atas tatkala menjelang sakratul maut, tidak ada satu orang sahabat pun yang mengingkarinya. Oleh karena itu, hukum bahwa meninggalkan shalat adalah kafir termasuk ijma’ (kesepakatan) sahabat sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnul Qoyyim dalam kitab Ash Sholah.

Mayoritas sahabat Nabi menganggap bahwa orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja adalah kafir sebagaimana dikatakan oleh seorang tabi’in, Abdullah bin Syaqiq. Beliau mengatakan,

كَانَ أَصْحَابُ مُحَمَّدٍ -صلى الله عليه وسلم- لاَ يَرَوْنَ شَيْئًا مِنَ الأَعْمَالِ تَرْكُهُ كُفْرٌ غَيْرَ الصَّلاَةِ
“Dulu para shahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah pernah menganggap suatu amal yang apabila ditinggalkan menyebabkan kafir kecuali shalat.” 
Perkataan ini diriwayatkan oleh At Tirmidzi dari Abdullah bin Syaqiq Al ‘Aqliy seorang tabi’in dan Hakim mengatakan bahwa hadits ini bersambung dengan menyebut Abu Hurairah di dalamnya. Dan sanad (periwayat) hadits ini adalah shohih. (Lihat Ats Tsamar Al Mustathob fi Fiqhis Sunnah wal Kitab, hal. 52)

Dari pembahasan terakhir ini terlihat bahwasanya Al Qur’an, hadits dan perkataan sahabat bahkan ini adalah ijma’ (kesepakatan) mereka menyatakan bahwa orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja adalah kafir. Itulah pendapat yang terkuat dari pendapat para ulama yang ada.

Ibnul Qayyim mengatakan, ”Tidakkah seseorang itu malu dengan mengingkari pendapat bahwa orang yang meninggalkan shalat adalah kafir, padahal hal ini telah dipersaksikan oleh Al Kitab (Al Qur’an), As Sunnah dan kesepakatan sahabat. Wallahul Muwaffiq (Hanya Allah-lah yang dapat memberi taufik).” (Ash Sholah, hal. 56)


Arah Sholat (Kiblat)

Ketika kita hendak mengerjakan Sholat, diwajibkan bagi kita untuk benar-benar menghadap ke Ka'bah ketika kita di Masjidil Haram. Karena memang Ka'bah itu terlihat oleh kita, sehingga kita tidak boleh berpaling dari Ka'bah walau hanya sedikit.

Jika kita berada disekitar Masjidil Haram (tidak terlalu jauh), juga diwajibkan bagi kita untuk benar² menghadap ke Masjidil Haram, ketika kita mengerjakan Sholat. Seperti yang dijelaskan dan diperintahkan dalam QS.2. Al Baqarah: 149-150.

QS.2. Al Baqarah :

وَمِنْ حَيْثُ خَرَجْتَ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ ٱلْمَسْجِدِ ٱلْحَرَامِ وَإِنَّهُ لَلْحَقُّ مِن رَّبِّكَ وَمَا ٱللَّهُ بِغَـٰفِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ
وَمِنْ حَيْثُ خَرَجْتَ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ ٱلْمَسْجِدِ ٱلْحَرَامِ وَحَيْثُ مَا كُنتُمْ فَوَلُّواْ وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ لِئَلاَّ يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَيْكُمْ حُجَّةٌ إِلاَّ ٱلَّذِينَ ظَلَمُواْ مِنْهُمْ فَلاَ تَخْشَوْهُمْ وَٱخْشَوْنِى وَلأُتِمَّ نِعْمَتِى عَلَيْكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ

149. Dan dari mana saja kamu keluar (datang), maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram, sesungguhnya ketentuan itu benar-benar sesuatu yang hak dari Tuhanmu. Dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang kamu kerjakan.

150. Dan dari mana saja kamu (keluar), maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu (sekalian) berada, maka palingkanlah wajahmu ke arahnya, agar tidak ada hujjah bagi manusia atas kamu, kecuali orang-orang yang zalim diantara mereka. Maka janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku (saja). Dan agar Ku-sempurnakan nikmat-Ku atasmu, dan supaya kamu mendapat petunjuk.

Namun ketika kita hendak mengerjakan Sholat, dan kita jauh dari Masjidil Haram, maka tidak tepat 100 persen tidaklah mengapa, karena memang sulitnya atau kelemahan kita dalam menentukan arah. Atau bahkan karena kita sulit untuk menghadap Masjidil Haram, maka tidak menjadi masalah jika tidak menghadap kearah Masjidil Haram. Seperti yang telah dijelaskan dalam QS.2. Al Baqarah: 115.

QS.2. Al Baqarah:

وَلِلَّهِ ٱلْمَشْرِقُ وَٱلْمَغْرِبُ فَأَيْنَمَا تُوَلُّواْ فَثَمَّ وَجْهُ ٱللَّهِ إِنَّ ٱللَّهَ وَٰسِعٌ عَلِيمٌ
115. Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah[Disitulah wajah Allah maksudnya; kekuasaan Allah meliputi seluruh alam; sebab itu di mana saja manusia berada, Allah mengetahui perbuatannya, karena ia selalu berhadapan dengan Allah]. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui. 

Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa Ibnu Umar membacakan ayat ini (S. 2: 115) kemudian menjelaskan peristiwanya sebagai berikut. Ketika Rasulullah SAW dalam perjalanan dari Mekah ke Madinah shalat sunnat di atas kendaraan menghadap sesuai dengan arah tujuan kendaraannya.(Diriwayatkan oleh Muslim, Tirmidzi dan Nasa'i yang bersumber dari Ibnu Umar.)

Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa turunnya ayat faainama tuwallu ... sampai dengan akhir ayat (QS. 2 : 115) membolehkan kita shalat sunnat di atas kendaraan menghadap sesuai dengan arah tujuan kendaraan. (Diriwayatkan oleh al-Hakim yang bersumber dari Ibnu Umar. Hadits ini shahih menurut riwayat Muslim, terutama isnadnya. Catatan: Sebagian ulama menganggap bahwa riwayat tersebut cukup kuat, walaupun sebab turunnya itu tidak jelas, yaitu dengan kata-kata "Turunnya ayat tersebut dalam masalah anu." Kedudukan kalimat seperti ini, kadang-kadang dianggap sebagai turunnya ayat)

Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa ketika Rasullah SAW hijrah ke Madinah, diperintahkan oleh Allah SWT untuk menghadap ke Baitil Maqdis di waktu shalat. Maka gembiralah kaum Yahudi. Rasulullah SAW melaksanakan perintah itu beberapa belas bulan lamanya, tetapi dalam hatinya tetap ingin menghadap ke qiblatnya Nabi Ibrahim AS (Mekkah). Beliau selalu berdoa kepada Allah sambil menghadapkan muka ke langit; menantikan turunnya wahyu. Maka turunlah ayat "qad nara taqalluba wajhika fis-sama-i sampai akhir ayat." (S. 2: 144). Kaum Yahudi menjadi bimbang karena turunnya ayat itu (S. 2. 144), sehingga mereka berkata: "Apa yang menyebabkan mereka membelok dari qiblat yang mereka hadapi selama ini?" Maka Allah menurunkan ayat ini (S. 2: 115) sebagai jawaban atas pertanyaan orang-orang Yahudi. (Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hatim dari 'Ali bin Abi Thalhah yang bersumber dari Ibnu Abbas. Isnadnya kuat, dan artinya pun membantu menguatkannya, sehingga dapat dijadikan dasar turunnya ayat tersebut.)

Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa pada suatu gelap gulita, dalam suatu perjalanan bersama Rasulullah SAW mereka (para perawi Hadits) tidak mengetahui arah qiblat. Mereka shalat ke arah hasil ijtihad masing-masing. Keesokan harinya mereka kemukakan hal itu kepada Rasulullah SAW. Maka turunlah ayat tersebut di atas (QS. 2 : 115). Hadits ini dla'if, diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi, Ibnu Majah dan ad-Daraquthni dari Asy'ats as-Samman dari 'Ashi bin Abdillah, dari Abdullah bin 'amir bin Rabiah yang bersumber dari bapaknya. Menurut Tirmidzi, riwayat ini gharib (Hadits dikatakan gharib, apabila diriwayatkan oleh seorang lainnya, dan seterusnya dengan satu sanad) dan As'ats didlaifkan didalam meriwayatkan Hadits ini.

Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa Rasulullah SAW mengutus suatu pasukan perang (termasuk di antaranya Jabir). Pada suatu waktu yang gelap-gulita, mereka tidak mengetahui arah qiblat. Berkatalah segolongan dari mereka: "Kami tahu arah qiblat, yaitu arah ini (sambil menunjuk ke arah Utara)". Mereka shalat dan membuat garis sesuai dengan arah mereka shalat tadi. Segolongan lainnya berkata. "Qiblat itu ini (sambil menunjuk ke arah Selatan)." Mereka shalat dan membuat garis sesuai dengan arah shalat mereka. Keesokan harinya setelah matahari terbit, garis-garisan itu tidak menunjukkan arah qiblat yang sebenarnya. Sesampainya ke Madinah, bertanyalah mereka kepada Rasulullah SAW tentang hal itu. Beliau terdiam. Maka turunlah ayat tersebut di atas (QS. 2 : 115) sebagai penjelasan atas peristiwa tersebut. (Diriwayatkan oleh ad-Daraquthni dan Ibnu Marduwaih dari al-'Arzami, yang bersumber dari Jabir.)

Menurut riwayat lain dikemukakan bahwa Rasulullah SAW mengirimkan suatu pasukan perang. Mereka diliputi kabut yang tebal, sehingga tidak mengetahui arah qiblat. Kemudian mereka shalat. Ternyata setelah terbit matahari, shalatnya tidak menghadap qiblat. Setibanya kepada Rasulullah SAW mereka menceritakan hal itu. Maka Allah menurunkan ayat ini (S. 2: 115) yang membenarkan ijtihad meeka. (Diriwayatkan oleh Ibnu Marduwaih yang menerima dari al-Kalbi, dari Abi Shaleh yang bersumber dari Ibnu Abbas.)

Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa Rasulullah SAW bersabda. "Saudaramu, raja Najasyi, telah wafat (Dalam tarikh disebutkan bahwa raja Najasyi wafat setelah masuk Islam). Shalatlah untuknya". Para shahabat bertanya. "Apakah kita boleh shalat untuk bukan Muslim?" Maka turunlah surat Ali 'Imran ayat 199. Para shahabat berkata lagi: "Sebenarnya raja Najasyi itu tidak shalat menghadap qiblat." Maka turunlah ayat tersebut di atas (S. 2: 115) yang menjelaskan bahwa raja Najasyi telah menunakan ibadatnya berdasarkan ketentuan pada waktu itu. (Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir yang besumber dari Qatadah. Riwayat ini sangat gharib, mursal karena rawinya tidak menerima melalui shahabat atau mu'dlal karena rawinya di tengah sanadnya terputus karena gugur  orang-orang rawi yang berdekatan.)

Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa ketika turun ayat. "Ud'uni astajib lakum" (S. 40: 60) para shahabat bertanya. "Kemana kami menghadap?" Maka turunlah "Faainama tuwallu fatsamma wajhullah" (S. 2: 115) sebagai jawaban terhadap pertanyaan mereka. (Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir yang bersumber dari Mujahid.)

Bagaimanakah dengan Muallaf  (baru masuk Islam), yang tentunya tidak bisa dan tidak mengetahui cara sholat?
Sesungguhnya Islam ini mudah, bagi yang tidak tahu bagaimana cara dan bacaan Sholat, ia dapat mengikuti sholat berjamaah di Masjid bersama Imam. Ia cukup mengikuti gerakan Sholat dari Imam tersebut, sedangkan bacaannya sudah ditanggung Imam.
Namun tentunya ia juga harus berusaha dan belajar bagaimana cara-cara sholat yang benar juga bacaannya. Sehingga dengan cara seperti ini (bagi yang tidak tahu cara dan bacaan sholat, cukup mengikuti gerakan Imam sholat)  tidak ada alasan lagi bagi yang tidak bisa sholat. Tidak ada lagi alasan, "Aku kan gak bisa shalat, jadi gak usah shalat".

Bagaimanakah sholat bagi orang yang sakit?
Orang yang sakit tetap diwajibkan melakukan shalat, selama ia masih sadar. Jika ia tidak bisa sholat Jumatan ke Masjid, maka ia bisa shalat di tempatnya bermukim atau kalau tidak bisa, silahkan shalat dipembaringannya.
Jika bisa melakukan shalat sambil berdiri, silahkan melakukannya, namun kalau tidak bisa, sambil duduk saja, atau kalau tetap tidak bisa, silahkan sholat dipembaringannya sedapat mungkin ia bisa lakukan. Jika tidak bisa berwudlu, maka ia bisa bertayamum.

Bagaimanakah sholat bagi orang yg tidak bermukim atau dalam perjalanan?
Orang yg tidak bermukim atau dalam perjalanan bisa berhenti dulu di Masjid untuk melakukan sholat, atau kalau tidak bisa, silahkan sholat dikendaraan. Sedapat mungkin sholat dengan menghadap kiblat, namun jika tidak bisa (terpaksa) dapat sholat menghadap kearah yg dituju oleh kendaraan. Jika bisa melakukan sholat sambil berdiri, silahkan melakukannya, namun kalau tidak bisa, sambil duduk saja, atau sedapat mungkin ia bisa lakukan.

Silahkan pula menjamak (melakukan dua sholat dalam satu waktu tertentu diantara dua waktu sholat tersebut) atau/dan meng-qosor (melakukan sholat yang 4 roka'at menjadi 2 roka'at) sholat.
Jika tidak bisa berwudlu, maka ia bisa bertayamum.
Seringkali orang-orang keliru dalam berpendapat, misalnya:
1. Ke masjid dilarang atau bahkan diharamkan pakai kaos. Bahkan yang lebih ekstrim, sholat pakai kaos dimasjid langsung ditarik keluar. Apakah kaos diharamkan Allah? Apakah orang-orang yang melarang itu tidak takut dengan adzab Allah, karena telah berbuat aniaya terhadap hamba Allah yang mau sholat di Masjid? Bukankah dengan kaos, auratnya tertutup?

2. Tidak mau menjamak sholat ketika dalam perjalanan, dng alasan takut salah. Padahal ketika diperhatikan, dia malah meninggalkan sholat wajib, karena dalam perjalanan yang panjang hingga beberapa waktu sholat habis. Mestinya ia menjamak sholat, sebagai keringanan bagi para musafir. Dan jangan sampai tidak sholat fardlu.

3. Tidak mau menjamak sholat fardlu ketika dalam bepergian. Alasan mereka, waktu perjalanan adalah selama 3 jam, berangkat pukul 1 siang, jadi sampai tujuan pukul 4 sore. Sehingga masih sempat sholat ashar. Namun kadangkala kita tidak bisa memperkirakan hal-hal lain, misalnya macet atau kejadian lain. Sehingga apabila waktu tiba yang semula diperkirakan pukul 4 sore bisa molor hingga waktu yang tidak bisa dipastikan. Akhirnya sholat asharnya tidak dikerjakan, karena waktunya telah habis.

Menjamak dan mengqoshor sholat adalah keringanan dari Allah yg dianugerahkan kepada kita, alangkah baiknya kita mempergunakan keringanan tersebut, sehingga tidak ada sholat fardlu yang tertinggal, dan perjalanan menjadi lebih nyaman.

Tata cara Menjamak dan mengQoshor
Menjama' (mengumpulkan) dua Shalat atau mengerjakan dua sholat Fardlu pada waktu yg sama, yakni diantara waktu dua sholat fardlu tersebut.

Yang dapat di Jamak adalah:

1. Sholat Dhuhur dengan Asar, dikerjakan diantara waktu Dhuhur dengan Asar

2. Sholat Maghrib dengan Isya', dikerjakan diantara waktu Maghrib dengan Isya'

~ Jika bepergian sebelum matahari condong (sebelum waktu zhuhur tiba), pelaksanaan shalat zhuhur di jama' dengan shalat 'Ashar di waktu Asar. Namun, jika bepergian setelah matahari condong (waktu zhuhur tiba), pelaksanaan shalat Zhuhur dijama'  dengan shalat 'Ashar di waktu zhuhur (sholat dijama' terlebih dahulu kemudian setelah itu berangkat).

~ Hendaknya pada setiap shalat tersebut (dua sholat yang dijama') dibacakan iqamat.

~ Tidak mengerjakan shalat sunnat diantara kedua sholat fardlu yg dijama' dan juga tidak mengerjakan shalat sunnat sebelum/setelahnya.

~ Selain di Jama', dapat pula di Qoshor (Jamak-Qoshor atau Qoshor saja) yakni mengerjakan Sholat fardlu yg 4 rokaat, menjadi 2 rokaat saja.

~ Para ulama sepakat bahwa seseorang yang bepergian diperbolehkan untuk mengqashar shalat, selama tidak disepakati untuk menetap, walaupun bertahun-tahun.

Telah menceritakan kepada kami Hassan Al Waasithiy berkata, telah menceritakan kepada kami Al Mufadhdhal bin Fadhalah dari 'Uqail dari Ibnu Syihab dari Anas bin Malik radliallahu 'anhu berkata; "Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bila berangkat bepergian sebelum matahari condong, Beliau shallallahu 'alaihi wasallam mengakhirkan pelaksanaan shalat zhuhur hingga waktu shalat 'Ashar lalu menggabungkan (jama') keduanya. Dan bila berangkat setelah matahari condong, Beliau laksanakan shalat Zhuhur terlebih dahulu kemudian setelah itu berangkat".(No. Hadist: 1044 dari HR. Bukhari)

Telah menceritakan kepada kami Adam telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Dza'bi dari Az Zuhriy dari Salim bin 'Abdullah dari Ibnu'Umar radliallahu 'anhuma berkata; "Nabi Shallallahu'alaihiwasallam menjama' shalat Maghrib dan 'Isya' di Jama' (Muzdalifah), pada setiap shalat tersebut dibacakan iqamat namun beliau tidak shalat sunnat diantara keduanya dan juga tidak setelah keduanya". (No. Hadist: 1561 dari HR. Bukhari)

Abdul Wahab bin Abdul Hakam Al Warraq Al Baghdadi menceritakan kepada kami, Yahya bin Sulaim memberitahukan kepada kami dari

Ubaidillah, dari Nafi', dari Ibnu Umar, dia berkata, "Aku bepergian bersama Nabi SAW, Abu Bakar, Umar, dan Utsman. Mereka mengerjakan shalat Zhuhur dan Ashar dua rakaat dua rakaat, dan tidak mengerjakan shalat apapun sebelum dan sesudahnya." Abdullah berkata, "Seandainya aku mengerjakan shalat sebelum atau sesudahnya, maka aku akan menyempurnakannya (tanpa menggasharnya)." (Shahih: Ibnu Majah (1071) Shahih Muslim & Shahih Bukhari)

Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Yunus Telah menceritakan kepada kami Abu Syihab dari 'Ashim dari Ikrimah dari Ibnu Abbas katanya, kami tinggal bersama Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dalam sebuah safar selama sembilan belas hari, yang sekian lama itu pula kami lakukan qashar. Kata Ibnu Abbas, dan kami melakukan qashar ketika kami bermukim sekitar selama sembilan belas hari, namun apabila lebih, tentu kami lakukan shalat dengan sempurna." (No. Hadist: 3961  dari HR. Bukhari)

Ahmad bin Mani' menceritakan kepada kami, Husyaim menceritakan kepada kami, Ali bin Zaid bin Jad'an Al Ourasyi mengabarkan kepada kami dari Abu Nadhrah, ia berkata, "Imran bin Hushain pernah ditanya tentang shalat dalam suatu perjalanan, maka ia menjawab, 'Aku pernah haji bersama Rasulullah SAW, dan beliau SAW mengerjakan shalat dua rakaat. Aku pernah haji bersama Abu Bakar, dan dia juga shalat dua rakaat. Begitu pula ketika bersama Umar, dia shalat dua rakaat. Aku bersama Utsman selama enam atau delapan tahun dari masa kekhilafahannya, dan beliau mengerjakan shalat dua rakaat." Shahih:(No. Hadist: 545  dari Shahih Sunan Tirmidzi)

Mengenai Gerakan Shalat Yang Terlupa (Menurut K.H. Abdul Latif Fawaid) :
1. Jika dalam suatu jamaah, Imam lupa duduk pada tahiyat awal, dan makmum mengingatkannya. Namun Imam tidak mendengar, dan terus melanjutkan sholatnya, maka makmum wajib mengikuti imam dan nantinya pada tahiyat akhir imam hendaknya sujud syahwi (karena lupa), yakni dua kali sujud sebelum salam, dengan diikuti para makmum. Jika Imam lupa duduk pada tahiyat awal, dan makmum mengingatkannya, kemudian Imam mendengarnya (setelah berdiri sempurna), lalu Imam duduk tahiyat awal, maka imam tersebut batal sholatnya demikian juga makmum.

2. Jika dalam suatu jamaah, Imam lupa duduk pada tahiyat akhir, dan makmum mengingatkannya. Namun Imam tidak mendengar, dan terus melanjutkan sholatnya, maka makmum wajib duduk (tidak mengikuti imam) dan menunggu imam hingga tahiyat akhir.

Jika Imam lupa duduk pada tahiyat akhir, dan makmum mengingatkannya, kemudian Imam mendengarnya (setelah berdiri sempurna), lalu Imam duduk tahiyat akhir, maka imam tersebut sah sholatnya demikian juga makmum.
Selanjutnya ketahuilah Rahasia Sembahyang, karena itu adalah Nama Nabi Muhammad SAW dan yang pertama dijadikan sembahyang itu adalah Nama “Akhmad” seperti : Berdiri tegak dengan hakekatnya "Alif", Ruku’ seperti “Ha, Sujud seperti “Mim”, Duduk seperti “Dal”, inilah artinya kelakuan sembahyang pada Insan, seperti rupa Muhammad.
  1. Kepala Seperti Mim Awal
  2. Tangan/Bahu seperti Ha
  3. Perut seperti Mim Akhir
  4. Kaki seperti Dal
Rahasia daripada Rahasia Sembahyang kepada huruf Allah.
  1. Berdiri betul hurufnya Alif
  2. Ruku’ hurufnya Lam Awal
  3. Sujud hurufnya Lam Akhir
  4. Duduk Tahiyat hurufnya Ha
Inilah yang diumpamakan Diri yang bernafas ialah Muhammad yang berasal dari Ahmad.
  1. Alif Syaratnya kepada Api
  2. Ha Syaratnya kepada Angin
  3. Mim Syartnya kepada Air
  4. Dal Syaratnya kepada Tanah/Bumi
Akhir kata, marilah kita terus belajar mengenai agama Islam, terutama masalah Bersuci dan Sholat, ingatlah mengenai kehidupan Akhirat yg jauh lebih abadi daripada kehidupan dunia ini. Apa yang kita andalkan ketika kita sudah menjumpaiNya? Dosa-dosa kita kah? Subhanallah, sudah terlalu banyak dosa-dosa kita, karena itu hapuslah perbuatan dosa tersebut dengan Sholat berjamaah di awal waktu dan di Masjid maupun di rumah. Tidak ada yang membanggakan kita, ketika kita menjumpai-Nya melainkan kita ridlo terhadap seluruh perintah-Nya, dengan mengerjakannya dengan sungguh-sungguh dan ikhlas serta takut akan adzabNya yang sangat pedih.

Aamiin ya Mujib ya Bashirin...Barakallah sucses is syariat Islam Not The Others..