Ketika seseorang berada dalam tahap puncak pendakian spiritualnya adalah masuk ke alam “Fana dan Baka”. Dan hal ini dijelaskan oleh Syekh Malaya/Sunan Kalijaga. 

Dia memaparkan pengetahuannya : Hendaknya waspada pada yang berikut ini. Jangan ragu-ragu. Lihatlah Tuhan secara jelas! Tapi, bagaimana melihat-Nya? Karena Tuhan itu tidak memiliki rupa. Tuhan tidak berarah dan tidak berwarna. Tidak ada wujud-Nya. Tidak terikat oleh waktu dan tempat. Sebenarnya Ada-Nya itu tiada. Seandainya Dia tidak ada, maka alam raya ini kosong dan tak ada wujudnya.

Dan tatkala sesorang ber-Dzikir atau ber-Tafakur [dalam salat] sudah sangat khusyu/intens, segala rupa yang muncul harus di lewatinya. Semua yang muncul itu hanyalah ilusi. Bayangan ke-Diri-an akan muncul. Seperti munculnya malaikat gunung yang menawarkan diri kepada Nabi Muhammad sehabis beliau dianiaya orang-orang Thaif. Nabi menolak pertolongannya. Justru beliau berdoa agar masyarakat Thaif diberi petunjuk.

Meskipun seorang mediator sudah bisa melewati berbagai godaan dan gangguan. Bisa melewati berbagai pesona. Bisa meninggalkan ajakan dari mereka-mereka yang menampakkan diri sebagai sanak saudara dan orang-orang lain yang telah meninggal. Bisa mengabaikan orang-orang yang tak dikenal dan menawarkan jasa. Tetapi, belum tentu mampu meloloskan diri dari jeratan Artadaya. Sang Artadaya ini menutupi Diri Sejati. Dia unjuk kekuatan. Dia pamer kekuasaan. Dia menawarkan kepada sang pendaki spiritual : “Apa yang kau minta? Apakah kau minta berlian-sambil menunjukan berlian dihadapan orang yang berzikir itu bagaikan butiran-butiran jagung? Apakah kau ingin menguasai itu-sambil menunjukan daerah kekuasaan? Tetapi, seorang pe-zikir yang tawakal, tak tertarik berbagai iming-iming. Seorang pe-zikir akan terus melanjutkan pendakiannya. Mendaki sendiri. Karena pada akhirnya pengiring kita pun tak mampu. Semua malaikat tak mampu mengiringi perjalanan sang pendaki. Malaikat Jibril pun tak mampu. Semua saudara gaib kita juga tak mampu. Hanya Tuhan yang membimbingnya. Dengan demikian apa yang diungkapkan Syekh Malaya [Sunan Kalijaga] yang meminta sang pe-zikir untuk melihat Tuhan dengan jelas. Terang. Tanpa samara-samar! Harus yakin tanpa keraguan sekecil apapun. Dengan cara ini sang pe-zikir akan sampai di puncak Ma’rifat.

Bagaimana cara melihat-Nya? Bukankah Tuhan itu tidak memiliki rupa. tidak ada arah dan warna-Nya. Bukankah Dia Tidak ada wujud-Nya. Tidak terikat oleh waktu dan tempat. Lalu, apa yang harus dilihat? Itulah ke-Fana-an! Fana bukanlah kesadaran tentang tiada. Fana bukanlah perasaan bahwa kita telah sampai di keadaan Fana. Fana bukanlah terciptanya konsentrasi/ke-khusyuan. Fana bukanlah perasaan bahwa kita merasa hilang. Fana bukanlah kita merasa tidak melihat apa-apa. Lalu, apa yang dimaksud Fana oleh orang-orang Sufi itu? Dalam serat Syekh Malaya tersebut di ungkapkannya bahwa jika Dia tidak ada maka kosonglah semesta raya ini. Apa yang disebut dalam serat itu merupakan bagian dari pembahasan para Wali tentang Ma’rifat. Tentunya itu bukan kalimat biasa. Dalam bahasa kata, pengetahuan tingkat tinggi itu tidak berbeda dengan pengetahuan orang awam. Itulah keterbatasan kata! Amat sulit mengungkapkan pengalaman spiritual dengan kata-kata. Karena melibatkan pengalaman batin.

Tak ada kata buat mendefinisikan kata Fana. Tak ada kata untuk batasan bagi Fana. Secara kata, Fana itu artinya lenyap. Hilang. Siapa yang hilang disitu? Apa kita menjadi hilang sehingga tak bisa dilihat orang lain ketika ber-zikir? Atau ada perasaan bahwa kita ini hilang tatkala ber-zikir?

Jawabannya bukan seperti itu. Kita tetap bisa dilihat orang ketika ber-zikir. Kita pun ada dalam kesadaran. Pada saat kita mengalami Fana, kita tidak tidur. Kita tidak mengantuk. Sehingga zikir kita tetap teguh, tidak berubah. Pada saat Fana itu, kita seperti orang yang tidur nyenyak-tapi nyatanya tidak tidur. Seperti tidur nyenyak yang tidak merasakan apa-apa. Tidak ada mimpi meski sekelebatan. Tidak ada kilatan apa-apa. Tidak ada kesadaran maupun ketidak sadaran. Keadaannya blanko! Kosong, tiada goresan. Tidak ada perasaan bahwa saya ini hamba dan yang dihadapi itu Tuhan. Itulah Fana! Ya, memang seperti orang tidur pulas tanpa sebuah impian.

Dus, yang membedakan antara orang yang ber-zikir [khusyu] dan orang yang tidur pulas itu keadaannya. Jika orang tidur, meski posisi awalnya duduk, badannya akan roboh ketika tertidur atau terkantuk. Kalau ia terlentang, maka dengus nafasnya ya sama dengan orang tidur. Dengusnya kasar. Bunyi napas orang tidur itu kasar. Sedangkan bunyi napas orang yang ber-zikir itu tidak terdengar. Seolah-olah tidak bernapas. Seorang ahli ma’rifat mereka berujar : KULLU NAFSIN ARIFIN KHOIRUN MIN IBADATI SAB’I’YAN SANATAN MIN KHOIRI AARIFIN (Artinya : Setiap nafas seorang yang ‘Arif Billah, lebih berharga dari 70 tahun ibadat orang yang bukan ‘Arif [awam] ). Yang berarti Nafas seorang yang mengerti dan sadar terhadap diri dan kediriannya (khuluk), nafas yang memanfaatkan hidup dan kehidupannya untuk kepentingan manusia dan kemanusiaan serta alam lingkungan (khalaq), nafas cinta kasih yang tenggelam dan sirna (Fana) dalam buaian cinta kasih Allah Yang Maha Pengasih (kholik). Bukan seperti nafasnya seorang yang hanya untuk dirinya sendiri dan karena dirinya sendiri yang penuh kesombongan diri, melibatkan diri dalam kebohongan dunia, meskipun ibadatnya 70 tahun.

Pada saat Fana dalam ber-zikir, bisa terjadi apa yang dinamakan “Majdzub”. Pada saat majdzub, hilang kesadaran manusiawinya. Dan, keadaan Fana ini bukan hanya terjadi pada saat duduk ber-zikir. Tidak demikian! Fana bisa terjadi ketika lagi berjalan, atau beraktivitas.

Dengan tidak disadarinya, muncul ucapan “Subhani”, Mahasuci Aku. Ana Al-Haqq, Saya adalah Yang Mahabenar. Dan, berbagai ucapan lainnya, yang sepatutnya itu ucapan Tuhan. Itu, memang ucapan Tuhan. Orang yang majdzub itu hanyalah alat bagi Tuhan yang hendak memuji diri-Nya. “Dalam arti hakiki, hilang sirnalah (Fana) segala Af’al hamba dan seluruh makhluk ini. Yang tampak dan jelas adalah Af’al Allah swt”. Kesimpulan itu adalah suara batin dengan penuh kejujuran. Bukan karena ujaran guru dan Kitab, bukan pula karena kata si ‘Arif atau Waliulloh’. Semua guru, kitab-kitab dan ucapan-ucapan para ‘Arif hanyalah penuntun dan penunjuk jalan ke arah itu.

‘FAMINHU KHOIRU WASSYARU WANNAF’U WADDHURRU WAL’IMANU WAL’KUFRU’ (Maka dari Dialah (Allah); kebaikan dan keburukan, manfaat dan mudarat, iman dan kufur). Imam Al-Ghazali : ‘Minhajul ‘Abidin

Didalam hadist qudsi di sebutkan :

ﻤـﺎاﺗـﻘـﺮبااﻠﻲاﻠﻤﺗـﻘـﺮﺒـﻮﻥ ﺒـﻤـﺜـﻞاﺪاﺀ ﻤﺎاﻓـﺗﺮﻀﺖ ﻋـﻠﻴـﻬـﻢ ﻮﻻﻴـﺰاﻞ اﻠﻌﺒـﺪﻴـﺗـﻘﺮﺐاﻠﻲ ﺒﺎﻠﻧﻮاﻓﻞ ﺤـﺗﻰاﺤـﺒـﻪ ﻓﺎﺀ ﺬااﺠـﺒﻠـﺗـﻪ ﻜـﻧـﺖ ﺴـﻤـﻌـﻪاﻠـﺬﻱ ﻴﺴﻤـﻊﺒـﻪ ﻮﺒﺼﺮﻩاﻠﺬﻱ ﻴﺒﺼﺮﺒـﻪ ﻮﻠﺴﺎ ﻧـﻪاﻠﺬﻱ ﻴـﻧﻃﻖ ﺒـﻪ ﻮﻴﺪﻩاﻠﺗﻰ ﻴـﺒﻃﺶ ﺒـﻬﺎﻮﺮﺠﻠـﻪاﻠﺗﻲ ﻴـﻤﺷﻰ ﺒﻬﺎ ﻮﻗﻠﺒـﻪاﻠﺬﻱ ﻴـﻀﻤﺮﺒـﻪ
“MA ATAQARRABA ILAYYAL MUTAQARRIBUNA BIMISTLI ADA’I MAFTARADLTU’ALAIHIM, WALA YAZALUL’ABDU YATAQARRABU ILAYYA BIN NAWAFIL, HATTA UHIBBAHU, FA IDZA AHBABTUHU KUNTU SAM’AHULLADZI YASMA’U BIHI WABASHARAHUL LADZI YUBSHIRU BIHI WA LISANUHUL LADZI YANTHIQU BIHI WAYADAHUL LATI YABTHISYU BIHA WA RIJLAHUL LATI YAMSYI BIHA WA QALBAHUL LADZI YADLMIRU BIHI”

Artinya : Orang-orang yang merasa dekat kepada-KU, tidak hanya melaksanakan apa yang aku fardhukan kepada mereka, malah si hamba itu merasa dekat kepadaku dengan melaksanakan amal-amal Nawafil (tambahan) hingga akupun mencintainya. Apabila AKU sudah mencintainya, Aku-lah menjadi pendengarannya yang dengan itulah dia mendengar, Aku-lah yang menjadi matanya untuk melihat, Aku-lah yang menjadi tangannya untuk menggenggam, Aku-lah yang menjadi kakinya untuk berjalan, dan Aku pulalah yang menjadi hatinya yang dengan itu ia dapat berfikir dan bercita-cita. (Riwayat Imam Bukhari).
Dengan penjelasan dalil diatas benar-benar sang hamba tersebut menjadi alat. Namanya saja “alat” ya tergantung yang menggunakannya. Cuma alat yang berbentuk manusia. Dalam Injil Yohanes 5 : 19, disebutkan bahwa Nabi Isa (Yesus) bersabda : “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya anak tidak dapat mengerjakan sesuatu dari dirinya sendiri, jikalau ia tidak melihat Bapa mengerjakannya; sebab apa yang dikerjakan Bapa, itu juga yang dikerjakan anak”. Pada ayat 5 : 30 juga disebutkan, “Aku tidak bisa berbuat apa-apa dari diriku sendiri, Aku menghakimi sesuai dengan apa yang aku dengar, dan penghakimanku adil, sebab aku tidak menuruti kehendak (Nafsuku) sendiri, melainkan kehendak Dia yang mengutus aku”.

Didalam Al-Qur’an :
ﻮﻴﻧﻄﻖﻋﻦ ﻠﻬﻮﻯ ﺍﻦﻫﻮﺍﻻﻮﺤﻲ ﻳﻮﺤﻰ ـ ﺍﻠﻧﺠﻢ؛٣ـ٢
WAYANTHIQU ANIL HAWA INHUWA ILA WAHYUN YUHA (Q.S. AN-NAJM : 2-3)
Artinya : Dan temanmu (Muhammad) itu, tidaklah sesat apalagi keliru. Apa yang diucapkannya itu berasal dari Tuhan-Nya, bukan kehendak (nafsu-nya) sendiri.

Dari Syekh Sayidina Abi Abdullah Muhammad bin Sulaeman Aliazli r.a. di katakana :
WALLAHU KHOLAQOKUM WAMAA YA’MALUNA WA LA YASHDURU MIN AHADIN MIN A’BIYDIHI QOWLUN WA HARAKATUN WASYUKUNUN ILLA QOD SYABAQO FI I’LMIHI WA QODHOO I’HI WA QODARIHI
Artinya : Dan Allah yang telah menciptakan kamu, dan menciptakan apa yang kamu lakukan, tak ada seorangpun diantara hamba-hambaNya yang melahirkan ucapan, perbuatan, gerak ataupun diam, melainkan sudah ada lebih dahulu pada ilmu-Nya Qodho dan Qodar-Nya.

Orang yang tidak mengerti Ma’rifat biasanya menolak kejadian madjzub. Mereka tidak mau tahu adanya hadist atau dalil-dalil tersebut. Mereka tidak tahu bahwa Nabi Muhammad pun sering mengalami madjzub di depan istri-istri beliau. Misalnya, dihadapan Siti Aisyah. Nabi pun pernah bersabda “ANA AHMAD BI LA MIM”, (Saya Ahmad tanpa mim). Artinya apa? Ahad! Dalam bahasa awam, itu berarti Nabi menyebut dirinya Tuhan. Tapi, karena para sahabat termasuk istri-istri beliau sudah di didik tentang hal-hal yang sifatnya spiritual, makanya tidak timbul kekacauan pandangan di tengah masyarakat. Atau juga seperti yang telah diperbuat oleh Maulana Ibnu Ar-Arabi, dimana dia berujar “Ana Arrabi bi la ain”, “Saya Arrabi tanpa huruf Ain”, artinya apa ? Rabbi! Dalam bahasa awam, itu berarti Ibnu Arrabi telah menyebut dirinya Tuhan.

Dalam Injil Yohanes Pasal 14 ayat 6, Nabi Isa (Yesus) berkata kepada muridnya Tomas, “Akulah jalan, kebenaran, dan hidup. Tidak ada seorang pun yang datang kepada Bapa (Tuhan), kalau tidak melalui aku”.

Bagi mereka yang sudah memahami makrifat, tidak akan heran terhadap sabda Kanjeng Nabi Isa tersebut. Tak ada orang makrifat menyebut orang lain Tuhan. Bahkan Syekh Siti Jenar pun tidak pernah menyuruh orang lain menyebut dirinya Tuhan. Mengapa? Karena tingkat makrifat setiap orang bisa menjadi manifestasi Tuhan. Jadi, sebutan “ingsun Allah”, “saya ini Allah”, tidak berarti memper-Tuhan-dirinya, atau menyuruh orang lain menyebut dirinya sebagai Tuhan. Itulah kesadaran orang yang lagi majdzub. Itulah sebabnya Kanjeng Nabi Isa pun mengatakan itu di depan muridnya [Tomas]. Bukan sebagai deklarasi tentang ketuhanan beliau di depan orang banyak.

Setelah tahap Fana tercapai, maka dirinya akan terserap oleh Tuhan. Masuk ke dalam wilayah ketuhanan. Secara otomatis memasuki keadaan Baqa alias baka. Yaitu, memasuki alam kekekalan. Di alam ini pengalaman orang satu dengan yang lainnya akan sama. Itulah sebabnya semua nabi merasa melihat sesuatu yang sama. Mereka melihat kebenaran yang sama. Makanya, tidak ada nabi yang satu konflik dengan nabi lainnya. Masing-masing menerima kodrat kenabiannya. Tanpa melakukan klaim bahwa dirinyalah Nabi yang benar sedang nabi lainnya salah.

Lihatlah, Kanjeng Nabi Musa tidak pernah menyalahkan nabi yang lain setelah dia mencapai tahap baka, Yaitu setelah bertemu Nabi Hidir. Tak ada seorang nabi pun yang di cela oleh Kanjeng Nabi Isa di dalam Injil. Kabjeng Nabi Muhammad pun tak akan mencela nabi dan rasul lainnya. Tak pernah menyalahkan ajaran para nabi lainnya. Termasuk tidak menyalahkan Musailamah. Justru Musailamah yang merasa tersaingi kenabiannya oleh Nabi Muhammad. Ya, siapa saja yang mengaku sebagai nabi tapi masih menyalahkan naibi-nabi lainnya, jelas dia bukan nabi. Wali sejati pun tidak pernah menyalahkan wali lainnya. Tidak mengusik ajaran yang disampaikan oleh wali lainnya. Mengapa? Karena dia menyadari bahwa kebenaran itu datangnya dari Tuhan yang sama [AL-HAQU MIRABBIKUM]. Lha, masa ajaran wali lain diprotes. Bukankah wali sejati sudah sampai tahap baka? Orang yang sudah sampai pada tahap ini tidak ada lagi perasaan dengki. Karena kedengkian itu perbuatan setan. Wali sejati itu wahananya Tuhan. Disebutkan di dalam Al-Qur’an bahwa para wali Allah, karena keimanan dan ketakwaan mereka, maka mereka tak tersentuh ketakutan dan penderitaan dalam hidupnya. [INNA AWLIYAA A’LLAHI LAA KHAUFUN A’LAIYHIM WA LAHUM YAHZANUN Q.S. 10 : 62].

Keimanan bukan semata-mata karena kepercayaan. Tetapi buah dari Ma’rifatnya. Sedangkan ketakwaan bukan hanya di bibir. Tapi, benar-benar wujud dari zikirnya kepada Tuhan yang di amalkan setiap saat. Tahap Fana sudah di lalui. Tahap baka dimasukinya. Akhirnya dia melihat hakikatnya sesuatu. Jika sudah demikian apanya yang perlu ditakutkan? Apanya yang perlu di khawatirkan? Semua penderitaan lenyap, karena Tuhan sendiri yang menjaganya. Ia bisa hidup tanpa tergantung pada orang lain, karena Tuhan sendiri yang menjadi gantungannya. Ia bisa memecahkan persoalan hidup ini karena Tuhan sendiri yang mengajarinya. Intinya setelah seseorang bisa mencapai tahap Fana dan Baka, maka sebenarnya dia telah menemukan pusat dirinya. Dia sudah menemukan Kabah/Mekah sejatinya. Dia sudah mengenal Dirinya. Dia sudah sampai pada Al-Haqq. Tahap akhir sepiritualnya! Tak secuil pun pikiran ikut mempengaruhi perilakunya. Tak ada rekayasa yang timbul dari hawa nafsunya. Semua perilakunya adalah manifestasi Tuhan.