Bagi orang Jawa kedatangan Islam di pandang sebagai masuknya beberapa tata cara yang baru dalam hidup beragama, misalnya Ibadah Haji. Dalam Suluk Wujil di ceritakan bahwa Syeh Malaya (Sunan Kalijaga) hendak melaksanakan Ibadah Haji ketika beliau berada di Malaka. Tetapi, oleh Syeh Maulana Magribi, sunan diminta untuk pulang ke Jawa. Alasan dari Syeh Maulana Magribi, bila Jawa di tinggalkan oleh Sunan Kalijaga maka orang Jawa akan kembali kafir.

Dalam Kitab Suluk Linglung lain lagi ceritanya. Sunan Kalijaga yang sudah bertekad pergi ke Mekah, di tengah perjalanan [di lautan] di cegat oleh Nabi Khidir. Sunan di nasihati agar tidak pergi bila belum tahu yang di tuju. Sunan di perintah untuk bertanya kepada sesama manusia yang tahu agar jelas apa yang hendak di kerjakan. Dalam Al-qur’an di sebutkan bahwa orang yang belum tahu tentang ajaran kehidupan harus menanyakan kepada orang yang sudah tahu QUR’AN SURAT AN-NAHL : 43 . Dengan maksud agar tidak tersesat.

Pada intinya Sunan Kalijaga mendapatkan pengajaran dari Syeh Maulana Magribi, bahwa Mekah yang ada di Jazirah Arabia itu hanyalah Mekah tiruan. Sejatinya Mekah itu ada di dalam diri sendiri. Ka’bah yang ada di Mekah itu hanyalah batu peninggalan dari Nabi Ibrahim. Mengenai Mekah dan Kabahnya di tuturkan dalam Kitab Suluk Wujil seperti berikut ini. “ Tidak ada yang tahu Mekah yang sebenarnya. Sejak muda hingga tua, seseorang tidak akan mencapai tujuannya. Bila mana ada orang yang membawa bekal lalu sampai di Mekah dan menjadi Wali, maka sungguh mahal bekalnya itu, dan sulit di peroleh. Bekalnya itu bukan rupiah atau dinar, tetapi keberanian dan kesanggupan untuk mati. Kesabaran dan kerelaan hidup di dunia. Mesjid di Mekah seperti mengelilingi. Ka’bahnya ada di tengah, dan bergantung tanpa pengait. Di lihat dari atas, tampak langit di bawah. Di lihat dari bawah, tampak bumi di atas. Melihat barat yang terlihat timur, sedangkan melihat timur yang terlihat barat. Sungguh itu penglihatan terbalik”.

Teks suluk ini sebenarnya menggambarkan bahwa ibadah Haji itu bukan pergi secara fisik ke kota Mekah yang ada di Jazirah Arabia. Tidak ada yang tahu letak Mekah Sejati, karena ada di dalam diri. Mekah yang demikian ini tidak bisa di capai dengan bekal harta benda dunia ini. Berapa pun banyaknya uang yang kita miliki, tak akan bisa membawa kita ke Mekah yang metafisik ini (tidak kelihatan oleh mata lahir).

Nah, posisi wali seperti yang di ungkapkan dalam teks tersebut, ternyata merupakan maqom ke walian bagi orang yang telah sampai di Mekah yang metafisik itu. Bekal untuk mencapai ke sana adalah keberanian dan kesanggupan untuk menjalani kematian dalam kehidupan, mati sajeroning urip, di dunia ini. Berani dan sanggup hidup yang bebas dari belenggu hawa nafsu. Orang yang bisa membebaskan diri dari hawa nafsu dapat di sebut sebagai orang yang mati dalam hidup. Dan, hidup pun berada dalam kematian. Karena Ia sudah dapat mengendalikan berbagai macam keinginan.

Menempunya harus sabar dan rela hidup di dunia tanpa terjebak keduniaan. Inilah yang di maksud dengan “Haji”. Sabar dan ikhlas dalam meniti jalan kebenaran. Sabar berarti tahan uji dalam menempuh kehidupan ini. Terus bertekad menempuh jalan yang benar meski godaan dan rintangan menghadang. Orang yang sabar tak akan berhenti di tengah jalan dalam mencapai tujuannya. Sedangkan ikhlas atau rela adalah kesanggupan untuk hidup tak terkontaminasi atau tidak tercemari kotoran dunia. Tidak ikut-ikutan berebut tahta, harta, dan dunia. Hidup di dunia tetapi tak terbelenggu oleh dunia. Dunia di lalui dengan sewajarnya.

Di kisahkan juga bahwa Ka’bah metafisik ini di kelilingi Mesjid. Ka’bahnya seperti menggantung tapi tanpa gantungan. Keindahannya membuat pemandangan Ka’bah tampak serba terbalik. Mekah yang demikianlah yang harus di tuju. Dalam alam metafisik atau spiritual, apa yang kita anggap sebagai langit, sesuatu yang berharga di dunia ini, ternyata rendah nilainya. Bumi yang di injak-injak ini tampak sebagai sorga. Karena itu bumi harus senantiasa di percantik.

Ibadah Haji sebagimana yang di ajarkan dalam suluk ini tidak berkaitan dengan usaha secara fisik. Cukup dengan aktivitas batiniah. Yaitu, dengan Tafakur dan Dzikir Samadi. Dengan cara ini hadirlah Ka’bah di dalam hati sendiri. Dalam bait 96 di jelaskan bahwa bahasa Mekah yang batiniah ini tidak berupa huruf atau tulisan. Jadi, wajar jika banyak orang yang tidak sanggup menuju ke sana. Modalnya bukan uang atau harta. Tapi tekad untuk meningkatkan kualitas spiritual dalam hidup ini.
Meski hakikat ibadah Haji itu olah spiritual, tetapi semua bentuk aktivitas haji merupakan simbol-simbol untuk mencapai pencerahan hidup.

PAKAIAN IKHRAM

Melambangkan keberanian dan kesanggupan untuk mati, alias hidup yang bersahaja dan kebersamaan dalam hidup bermasyarakat. Suatu bentuk kesederhanaan yang jelas, yaitu berupa pakaian putih tanpa jahitan. Yang melambangkan tak ada perbedaan derajat dan pangkat.

SA’I
Melambangkan kesabaran dan keikhlasan dalam menempuh hidup yang wajar, Yaitu berjalan kaki dan lari kecil bagi yang laki-laki. Bagi perempuan, Sa’i di lakukan dengan berjalan cepat. Sa’i di lakukan secara bolak balik 7 kali dari bukit Shafa dan Marwah. Kesulitan untuk mempertahankan hak hidup tidak lantas melakukan sesuatu yang melampaui batas. Kekurangan atau kemiskinan tidak membuatnya kalap dan melakukan penjarahan bila ada kesempatan. Sa’i merupakan symbol keteguhan iman dalam memperjuangkan kehidupan yang benar.

TAWAF
Adalah tujuan mencapai pusat spiritual atau asal kehidupan, Yaitu mengitari Ka’bah dari arah kanan ke kiri sebanyak 7 kali. Orang banyak yang melakukan tawaf itu bagaikan sperma-sperma yang ingin masuk ke inti telur. Ka’bah yang di kenal sebagai Bait Allah atau Rumah Tuhan, merupakan lambang bagi rahim kehiudupan. Di sudut tenggara Ka’bah ada “ceruk” sebagai tempat hajar aswad, batu hitam, yang melambangkan vagina dan klitorisnya. Di sunatkan untuk mencium batu hitam itu sebenarnya lambang untuk menghormati kehidupan. Yang pada prinsipnya menghormati perempuan sebagai induk kehidupan.

Sebelum kedatangan agama Islam, bangsa Arab tidak menghormati perempuan. Kehidupan perempuan di lecehkan. Sehingga orang-orang dari suku tertentu merasa malu bila mempunyai anak perempuan, maka anak tersebut di kubur hidup-hidup. Islam melarang cara-cara hidup yang demikian itu. Perempuan harus di hormati. Di antara symbol-simbol penghormatan itu di bakukan dalam ibadah haji.

Dengan datangnya agama Islam, haji yang menjadi obsesi masyarakat Arab semenjak pra-Islam, di perbaiki tata caranya. Perjalanan haji ada di dalam darah orang-orang Arab. Bagaimanapun keadaannya seorang Arab masih meyakini bahwa ibadah haji akan menyelamatkan dirinya. Karena itu, tata cara rangkaian ibadah haji di perbaiki oleh Nabi Muhammad SAW. Sehingga dengan cara menapaktilasi perjuangan Nabi Ibrahim, dengan cara menunaikan ibadah haji, seorang muslim di harapkan mampu menjalani hidup ini dengan benar. Baik untuk kehidupan pribadinya, maupun untuk kehidupan masyarakatnya.

Perempuan harus di hormati dalam kehidupan ini. Bukan hanya di dalam rumah tangga, tetapi juga di dalam masyarakat dan negara. Mencium hajar aswad merupakan symbol untuk menghormatinya. Sedangkan perintah untuk menjaga, menghargai dan menghormatinya, bisa kita lihat pada ayat berikut ini :

WA AL-TAQU ALLAH AL-LADZI TASA’ALUN BIHI, WA AL-ARHAM. INNA ALLAH KANA ‘ALAYKUM RAQIBA Q.S. AN-NISA : 1
Artinya : Jagalah hukum Allah yang dengannya kalian saling meng-“Klaim” hak dan kewajiban kalian, dan jagalah rahim-rahim perempuan. Sesungguhnya Allah senantiasa mengawasimu.
Ayat tersebut menginformasikan bahwa kita hidup ini berdasarkan hak dan kewajiban yang bersumber dari-Nya. Hak dan kewajiban kita ini berasal dari hukum Tuhan. Kita hidup di bumi kepunyaan-Nya. Kita menghirup udara untuk napas kehidupan kita, dan ini berasal dari-Nya. Kita ada di dunia ini dari perempuan yang merupakan salah satu ciptaan-Nya yang teragung. Karena itu, dalam menjaga hukum Allah, termasuk di dalamnya adalah menjaga rahim perempuan. Artinya, kita [lelaki dan perempuan] harus menjaga rahim perempuan. Karena rahim adalah kehormatan tertinggi bagi manusia.

Bahasa ayat tersebut amat halus. Menjaga rahim sebenarnya menjaga kelamin perempuan. Menjaga vagina. Ia bukanlah alat pemuas nafsu liar. Ia bukanlah sarana untuk eksploitasi kenikmatan seksual belaka. Meskipun kita tahu bahwa kenikmatan seksualitas dapat di peroleh lewat situ. Karena rahim merupakan kehormatan yang tertinggi maka rahim harus di sentuh melalui ikatan perkawinan. Melalui perjanjian hidup bersama yang terhormat. Dalam ikatan itulah masing-masing pasangan saling menghormati. Untuk mengingat nilai kehormatan ini, bagi siapa saja yang menunaikan ibadah haji di anjurkan untuk mencium hajar aswad. Kalau mau jujur, banyak orang yang naik haji itu kehilangan makna spiritualnya. Berbagai rukun dan syarat diyakini secara harfiah sebagai cara untuk menyempurnakan keimanannya. Dari keyakinan yang demikian mereka berharap menjadi Haji Mabrur – Mabrurah [hajatun mabrurah], haji yang penuh kebajikan. Padahal sepulangnya dari ibadah haji, ke-mabrur-annya tidak tampak atau tidak membekas. Seseorang akan mabrur hajinya bila dia ikhlas dalam menunaikannya. Tak ada kepentingan duniawi apa pun, meski dalam berhaji seseorang di perkenankan untuk melakukan perdagangan. Tetapi, perdagangan bukan sebagai motivasi atau faktor pendorong untuk berhaji. Panggilan haji itu betul-betul lahir dari lubuk hati terdalam, dan mengamalkan segala symbol dalam berhaji itu dalam kehidupan nyata. Haji juga bukan karena faktor politik! Cukup sekali seumur hidup ketika ia mampu melaksanakannya.

Ibadah haji merupakan perjalanan manusia ke pusat dirinya. Karena itu, kewajiban secara fisikal, kewajiban meniti symbol-simbol, hanya sekali dalam seumur hidup. Dan, itu pun bila yang bersangkutan “mampu”. Ya, perjalanan haji hanya bagi yang mampu!. Bukan hanya mampu secara material, tetapi juga mampu secara mental dan spiritual. Sebelum pergi haji, seseorang harus sudah membersihkan dirinya dari jeratan duniawi. Sehingga sepulangnya dari haji, dia dapat menerapkan segala symbol yang di laluinya selama haji dalam kehidupan nyata di dunia ini. Bukan sepulang haji malah melakukan korupsi secara lihai. Pergi haji juga bukan untuk menutupi kecacatan dalam karir politik seseorang. Bukan untuk menebus dosa politik. Pergi haji bertujuan untuk meningkatkan mutu kemanusiaannya dalam kehidupan masyarakat.

Perhatikan berbagai larangan ketika ihram!.

Ada beberapa larangan bagi orang yang sedang ber-Ihram. Di antaranya disebutkan dalam ayat Q.S. Al-Baqarah : 197, Yaitu di larang melakukan aktivitas seksual, tindakan fasik, dan bertengkar.

1. Larangan Melakukan Aktivitas Seksual
Ber-Ihram sebenarnya merupakan lambang penyucian batin. Bertapa brata. Karena itu, secara lahiriah pelaku haji harus mengenakan pakaian sederhana yang berupa belitan kain putih tanpa jahitan. Dalam upaya menyucikan batinnya, manusia harus bisa meredam gejolak birahinya. Sehingga semua hal yang menjurus pada pembangkitan nafsu syahwat harus di tiadakan! Segala lamunan tentang pornografi harus dihindarkan. Khayalan yang membangkitkan birahi harus di singkirkan, sehingga sentuhan badan dengan lain jenis yang tidak bisa di hindari itu tidak menyebabkan dorongan syahwat. Otomatis pernikahan di saat ber-Ihram tidak boleh di lakukan alias terlarang. Apalagi berhubungan seksual!

2. Larangan Berbuat Fasik
Perbuatan fasik Yaitu perbuatan yang menyimpang atau melanggar hukum Allah. Perbuatan keji dan mungkar sebagimana diterangkan di atas, tidak boleh di lakukan. Dalam pengertian fasik ketika ber-Ihram adalah membunuh. Baik itu membunuh manusia, hewan, atau tumbuhan. Jangankan membunuh, sesuatu perbuatan yang sifatnya menganiaya seperti merusak ranting tumbuhan pun di larang. Karena itu, berburu pun di larang [lihat Q.S. Al-Maidah (5) : 1-2]. Maksud pelarangan dalam ber-Ihram ini agar seseorang sepulangnya dari perjalanan haji tidak berani berbuat aniaya terhadap makhluk hidup. Apalagi membunuhnya. Kalau toh akan melakukan penebangan pohon, harus di pikirkan masak-masak bahwa penebangan itu tidak sampai menimbulkan kerusakan lingkungan.

3. Larangan Bertengkar
Pertengkaran suami-istri atau dengan orang lain di larang. Lho, bagaimana pertengkaran antara orang tua dengan anaknya, atau majikan dengan buruhnya yang di ajak menunaikan ibadah haji? Semua pertengkaran dilarang! Dalam ber-Ihram tak ada lagi perbedaan kedudukan. Di mata Tuhan semua makhluk sama kedudukannya. Karena itu, tak ada hak bagi manusia untuk menyombongkan dirinya di hadapan yang lain.

Coba perhatikan, alangkah harmonisnya kehidupan ini bila orang-orang yang telah pergi berhaji itu bisa menerapkan prinsip ber-Ihram dalam kehidupan sehari-hari. Apa artinya bila tata cara ber-Ihram itu di lakukan sebatas formalitas? Apa gunanya berhaji bila ibadah ihram itu tidak lagi membekas?
Nah, sekarang mari kita kembali ke Sunan Kalijaga yang membatalkan dirinya untuk pergi haji. Dari segi material dan mental, tak ada halangan sama sekali bagi sunan. Sudah sampai di Malaka, tapi malah di suruh pulang kembali ke pulau jawa. Alasannya, agar orang-orang Jawa tidak menjadi kafir. Artinya, kalau sunan tetap pergi ke Mekah, orang-orang Jawa akan kafir. Lho, apa sebabnya? Karena pemerintahan Demak masih di tahap transisi. Kekacauan dan kerusuhan banyak terjadi. Runtuhnya Majapahit menyebabkan perebutan kekuasaan terjadi di mana-mana. Rakyat menderita. Praktis Islam yang di tawarkan oleh Wali Sanga tidak mendapatkan tempat di hati masyarakat. Kecuali, yang di ajarkan oleh Sunan Kalijaga dan Syekh Siti Jenar. Kedua anggota wali ini mengajarkan Islam dengan pendekatan budaya. Meskipun cara dan intensitasnya berbeda.

Tujuan haji adalah untuk menjadi manusia sempurna [Insan Kamil]. Untuk hal ini sudah dipenuhi oleh Sunan ketika melakukan tapa brata di tepi kali. Sunan tercerahkan setelah selama lima tahun bertapa di pinggir kali. Semua symbol dalam ibadah haji itu telah di laluinya dalam meditasinya. Sehingga yang ada tinggal mengamalkannya dalam kehidupan nyata sehari-hari.

Dalam sebuah hadist diterangkan bahwa sepulang para sahabat menunaikan ibadah haji, hanya ada satu orang yang menjadi haji mabrur. Para sahabat bertanya kepada Nabi, siapa gerangan orang yang mabrur hajinya itu. Nabi menyebutkan namanya. Para sahabat mulai mengingat-ingat nama tersebut. Dalam ingatan mereka tidak ada orang berhaji yang di sebutkan namanya oleh Rasul Allah itu. Maka, para sahabat menelusuri orang yang di maksud. Setelah bertemu dengan orang itu, sahabat-sahabat yang datang itu mengucapkan selamat bahwa orang itu menjadi haji mabrur. Tentu saja, orang itu kaget. Terkejut. Dan, akhirnya menjelaskan bahwa dirinya tidak sempat untuk pergi haji pada tahun itu. Dia menceritakan bahwa sudah berniat pergi haji dan sudah siap segala bekal untuk beribadah haji. Tat kala mau berangkat, dia mengetahui bahwa ada seseorang tetangganya yang sakit keras. Maka, dia menolong si sakit itu, dan menguras semua bekal untuk ibadah hajinya. Tetangganya yang sakit itu sembuh. Tapi, dia tidak jadi untuk beribadah haji, ternyata, orang yang demikian ini menjadi haji mabrur. Dus, untuk menjadi haji mabrur, harus bisa melihat kenyataan. Tanpa kesana pun, kalau kelebihan harta-bendanya itu untuk menyelamatkan orang, sama saja dengan pergi ke sana dan mendapatkan posisi sebagai haji mabrur.